Close Menu
Desanesia.id
  • Home
  • Indeks
  • Nasional
  • Daerah
  • Wisata
  • Gallery
    • Video
  • Sejarah
  • Internasional
  • Pendidikan
  • Budaya

Subscribe to Updates

Get the latest creative news from FooBar about art, design and business.

What's Hot

Forum Strategis: Menghadapi Krisis Masa Depan Bangsa dan Dunia

Jumat, 2 Mei 2025

Membangun Masa Depan Pertanian Tapanuli Utara: Membaca Realitas, Menata Ulang Arah

Selasa, 29 April 2025

Kopdes Merah Putih: Upaya Membangun Solidaritas dan Kesadaran Politik

Minggu, 27 April 2025

Subscribe to Updates

Get the latest creative news from SmartMag about art & design.

Facebook X (Twitter) Instagram
Facebook Instagram YouTube TikTok
Desanesia.id
Kamis, 22 Mei 2025 Login
  • Home
  • Indeks
  • Nasional
  • Daerah
  • Wisata
  • Gallery
    • Video
  • Sejarah
  • Internasional
  • Pendidikan
  • Budaya
Desanesia.id
Home » Tawa Agak Laen Berkelas
Budaya Minggu, 29 Desember 2024

Tawa Agak Laen Berkelas

RikiBy RikiMinggu, 29 Desember 2024Tidak ada komentar4 Mins Read
Facebook Twitter WhatsApp
Ilustrasi/Ist
Share
Facebook Twitter Email Telegram WhatsApp

Desanesia. Dulu, tawa cukup sederhana. Baik tawa itu sendiri maupun cara kita dibuat tertawa, lahir begitu saja. Anda menonton Warkop DKI, melihat Kasino mengejar Indro dengan gaya slapstick, dan semua terasa cukup. Humor ala Kadir-Doyok atau Basuki? Lebih santai lagi —seperti obrolan warung kopi, tidak butuh logika, hanya murni tawa lepas.

Tapi hari ini, komedi Indonesia telah berubah. Anda yang sudah menonton film Agak Laen pasti merasakan perubahan ini. Tak aneh jika film yang menggabungkan horor, drama, dan komedi, ini kemudian berhasil menarik 9,1 juta penonton, dengan pendapatan sekitar Rp455 miliar.

Penggemar sudah menunggu Agak Laen 2, yang kabarnya mau tayang Desember ini. Rupanya mereka kena prank, terlanjur percaya dengan podcast akun Instagram @podcast.agak.laen pada 2 Desember 2024 yang menayangkan cuplikan video singkat berdurasi 30 detik tentang rencana tayangnya lanjutan film itu akhir tahun ini.

Apa yang terjadi? Apakah ini tren, atau cerminan dari penonton yang kini menginginkan lebih dari sekadar komedi “konyol”?

Mari kita lihat perjalanan ini lebih luas. Di Hollywood, komedi juga berevolusi. Jika dulu kita tertawa terpingkal-pingkal melihat Jim Carrey di Dumb and Dumber, kini kita diberi film seperti Jojo Rabbit. Humor di era modern bukan lagi hanya tentang tingkah bodoh, tetapi menjadi alat untuk menyampaikan isu serius. Siapa sangka Adolf Hitler bisa menjadi tokoh komedi (dengan twist tragis) dalam film Taika Waititi?

Hal serupa terjadi di Bollywood. Komedi klasik ala Hera Pheri yang penuh kekacauan slapstick mulai tergeser oleh film seperti 3 Idiots (2009), yang membawa pesan mendalam tentang pendidikan dan motivasi. Komedi bukan lagi hanya hiburan, tetapi medium untuk mengajukan pertanyaan kritis. Pemutarannya di pekan pertama saja menghasilkan pemasukan lebih 16 juta dolar.

Di Indonesia, komedi sedang mengalami transisi serupa. Film seperti Agak Laen merupakan bukti bagaimana formula baru diciptakan. Muhadkly Acho, sutradara film ini, tidak sekadar menyajikan lelucon. Ia menawarkan cerita: konflik rumah hantu di pasar malam yang terasa dekat dengan pengalaman masyarakat. Humor muncul dari situasi, bukan dari lawakan asal atau dialog tanpa makna.

Sebagai perbandingan, humor ini mirip dengan gaya Wes Anderson di The Grand Budapest Hotel: absurd, tetapi penuh logika internal yang mengundang tawa. Tidak seperti Warkop DKI, di mana Anda tertawa tanpa perlu berpikir, film seperti Agak Laen membuat Anda tertawa sambil merenung. Apa bisa? Jangan-jangan usai nonton, tawa kita masih terbawa di hati.

Generasi baru pelawak, yang tumbuh dari panggung Stand-Up Comedy, membawa semangat berbeda ke layar lebar. Ernest Prakasa, Bene Dion, hingga Acho tercatat sebagai contoh pelawak yang tidak hanya melucu, tetapi juga menciptakan cerita. Ini mengingatkan kita pada Jordan Peele, yang dari komedi seperti Key & Peele bertransformasi menjadi sutradara horor-komedi seperti Get Out.

Namun, pertanyaannya: apakah ini sepenuhnya baru? Tidak juga. Seperti tadi disebut ihwal 3 Idiot, humor seperti ini telah dilakukan di Thailand dengan film seperti Pee Mak. Ada siklus dalam industri film: sesuatu yang sukses akan diulang-ulang hingga mungkin kita bosan. Bukankah kita pernah melihat Warkop DKI Reborn (6,7 juta penonton) dalam berbagai versi yang tak ada habisnya?

Jika kita bandingkan, Bollywood dan Hollywood memiliki skala yang lebih besar, dalam hal tingkat konten dan pemutaran. Film-film seperti Jojo Rabbit atau 3 Idiots membawa humor ke tingkat yang lebih intelektual. Namun, meski dibuat di sini, kekuatan Agak Laen ada pada sentuhan lokal. Pasar malam, rumah hantu, dan logat khas Indonesia adalah elemen yang tidak bisa ditemukan di tempat lain.

Bahkan dalam hal ini, Hollywood sering gagal menangkap nuansa lokal saat mencoba membuat komedi global. Anda bisa tertawa menonton Jojo Rabbit, tetapi hanya film seperti Agak Laen yang bisa menyentuh memori pasar malam kita: permen kapas, lampu berkelap-kelip, dan sedikit ketakutan masuk ke wahana rumah hantu. Gabungan antara tawa dan ketakutan.

Apa yang membuat komedi serius seperti Agak Laen menarik adalah kemampuannya menjaga keseimbangan. Penonton tidak hanya tertawa, tetapi juga merasakan keterikatan emosional. Komedi tidak lagi menjadi pelarian, tetapi refleksi realitas. Dengan tingkat pengetahuan yang lebih tinggi berkat era digital, penonton yang memang gemar humor perlu tontonan yang lebih masuk akal.

Namun, ada tantangan: bagaimana menjaga formula yang diolah dari realitas dan intelektualitas ini tetap bisa disajikan dengan segar? Jika semua film mulai mengadopsi pola serupa, kita mungkin akan melihat kebosanan yang sama seperti era Warkop Reborn. Tantangan berikutnya bagi para sineas adalah menciptakan inovasi baru tanpa kehilangan akar lokalnya.

Pada akhirnya, apakah Anda lebih suka slapstick ayam terbang ala Warkop, atau humor cerdas Agak Laen? Mungkin jawabannya ada di tengah-tengah. Karena, seperti hidup itu sendiri, tawa terbaik sering datang dari kombinasi absurditas dan kedalaman. Dan selama dunia ini tetap absurd, kita akan selalu butuh alasan untuk tertawa —entah lewat ayam yang dikejar, atau rumah hantu di pasar malam. [nto]

Penulis adalah Pemerhati Kebangsaan, Pengasuh Pondok Pesantren Tadabbur Al-Qur’an

Agak Laen Tawa
Share. Facebook Twitter WhatsApp Telegram
Previous ArticlePembenahan Infrastuktur Pendukung Investasi Jadi Skala Prioritas BP Batam
Next Article Rumah BUMN BRI Pekalongan Berhasil Dampingi 1.000 UMKM Naik Kelas
Avatar photo
Riki

Related Posts

Menteri Desa Dijadwalkan Temui Kepala Desa se-Riau dan Buka Pacu Jalur di Peranap Inhu

Sabtu, 15 Februari 2025

Festival Pecinan Dalam Rangka Perayaan Imlek 2025

Rabu, 29 Januari 2025

Rocky Gerung Diusulkan Jadi Utusan Khusus Presiden Bidang Kerukunan Agama

Minggu, 8 Desember 2024

Festival Kopi dan Tembakau Situbondo 2024 Resmi Dibuka

Kamis, 19 September 2024

Leave A Reply Cancel Reply

Media Sosial
  • Facebook
  • Instagram
  • YouTube
  • TikTok
Jangan Lewatkan
Daerah
Jumat, 2 Mei 2025By Nurfaizah Al Adabiyah

Forum Strategis: Menghadapi Krisis Masa Depan Bangsa dan Dunia

Desanesia. Majelis Gerakan Akhir Zaman (GAZA) menggelar forum strategis berskala internasional bertajuk “Refleksi Spiritual Mubasyirat…

Membangun Masa Depan Pertanian Tapanuli Utara: Membaca Realitas, Menata Ulang Arah

Selasa, 29 April 2025

Kopdes Merah Putih: Upaya Membangun Solidaritas dan Kesadaran Politik

Minggu, 27 April 2025

Emas Antam Merosot Segini Usai Cetak Rekor Tertinggi

Jumat, 18 April 2025
Desanesia.id
Facebook Instagram YouTube TikTok
  • Tentang Kami
  • Disclaimer
  • Pedoman Media Siber
  • Pedoman Pemberitaan Ramah Anak
  • Kode Etik Jurnalistik
  • Pedoman Pemberitaan Isu Keberagaman
  • RSS
© 2025 PT Media Inti Borneo.

Type above and press Enter to search. Press Esc to cancel.

Sign In or Register

Welcome Back!

Login to your account below.

Lost password?